Featured Products

Vestibulum urna ipsum

product

Price: #

Detail | Add to cart

Aliquam sollicitudin

product

Price: #

Detail | Add to cart

Pellentesque habitant

product

Price: #

Detail | Add to cart

Ketika Flamboyan Sedang Berbunga

Ketika Flamboyan Sedang Berbunga
(dari kumpulan cerpen Tabloid NOVA)
Oleh Kuswinarto

Flamboyan di tanggul sungai depan rumah, di sebelah jalan yang sudah belasan tahun diaspal, berbunga lagi. Pohon besar dengan beberapa cabang itu seperti tak memiliki daun lagi. Semua bunga. Pohon itu seperti merelakan saja daun-daunnya ludes demi bunga-bunga. Dan sepertinya bukan pengorbanan yang sia-sia, karena bunga menyembul merah merata.
Dari serambi rumah, aku takjub menatap flamboyan berbunga itu. Aku memang selalu takjub dengan flamboyan. Di mataku pohon itu seperti kepala seorang perempuan. Kepala perempuan cantik. Rambutnya dicat merah. Funky. Semarak. Gunung merah. Merah menyala. Aku sengaja mengeluarkan kursi ruang tamu ke serambi untuk menatap flamboyan berbunga itu. Dari tempatku, aku merasakan keindahannya. Warna semarak mengalir ke mataku, lalu meresap ke dalam hati. Sungguh aku menikmati keindahan flamboyan itu sore ini. Saat angin telah tenang. Saat matahari berhenti memanggang. Langit biru teduh berlukiskan putih awan.
Hatiku tersenyum. Flamboyan itu seperti tahu bibirku mengulum kagum. Ia pun mengirim senyum merah padaku. Begitulah ia memang selalu, sejak dulu, setiap ia tahu aku tertegun-tegun mengagumi kecantikannya. Sungguh kebesaran Allah Maha Indah.
Aku jatuh cinta kepadanya, ia sepertinya tahu hal itu. Dan ketika kata cinta itu kubisikkan, ia tersipu. Seperti remaja baru pertama merasakan dijatuhi cinta seorang pemuda. Dari tersipu perlahan ia tertunduk. Disembunyikannya ketersipuan wajahnya. Ada debur ombak Pasir Putih*) di dadaku, ada debur ombak Pulau Pasir**) di dadanya. Ombak dari laut yang sama.
Kami terdiam dalam gemuruh perasaan. Lama-lama kusadari perubahan. Wajahnya yang tersipu perlahan berubah menjadi kesedihan. Menjadi duka. Tetap cantik, memang. Tapi campur murung kini. Matanya mendung menyimpan rintik hujan. Sepertinya ia menyimpan duka, atau mungkin luka, dalam dan curam. Sepertinya begitu. Hatiku pun jadi tak lagi nyaman.
Apakah gerangan membuat flamboyan cantik berduka? Ia mengangkat wajah perlahan, sebentar, kembali menunduk. Sepertinya ia dengar pertanyaan yang mendesar di hatiku. Sekuntum merah flamboyan yang di telinganya pun gugur, lewat perpisahan serta-merta, pedih, dan menyesakkan. Sekuntum gugur itu jatuh di rumputan. Kalau tidak, tentu di sungai, lalu diseret arus, lalu hilang jejak.
Ia tak menitikkan air mata. Tapi aku merasa ia melinangkan air mata. Ia menangis tanpa suara, hanya terdengar oleh hati yang terbuka. Aku melihat matanya yang indah dengan bulu mata yang juga indah itu berkaca-kaca. Tapi ia tak kuasa untuk sekadar menyeka air matanya.
Apakah yang membuatnya berduka? Aku kembali bertanya. Ia bergeming di tanggul itu. Dan memang selalu bergeming. Tak pernah bergerak dari tempatnya. Aku merasakan isaknya tambah keras oleh pertanyaanku. Mungkin terharu.
Ia mengangkat wajah, menatapku, lalu berkata, "Apakah Mas mau saya ajak pergi?"
Suara yang cantik. Tapi, sungguh, membuat aku terkejut.
"Mas mau saya ajak pergi?" suaranya lagi, dengan tekanan yang lebih.
Aku bingung.
"Tolong Mas jawab. Mau, tidak, Mas pergi sama saya?"
"Kita mau ke mana?" sahutku. "Baru tiga hari aku di kampung kita ini. Liburku tak panjang dan hendak kutuntaskan di sini. Hendak kutuntaskan rinduku di sini. Pada kampung ini. Pada bapak, emak, kakak, adik. Pada kawan-kawan."
"Padaku?"
"Tentu padamu juga," sahutku kepada flamboyan berbunga itu. "Aku juga rindu kamu. Syukur aku pulang kampung ketika kamu sedang berbunga!"
Ia kembali menunduk. Aku kembali bertanya. Apa membuatnya duka.
"Mas sungguh ingin tahu?"
Aku mengangguk dalam.
"Ikutlah saya kalau begitu. Tidak ke mana-mana. Maksud saya, tetap di kampung ini. Kita pergi ke masa lalu."
Aku mengangguk-angguk, menarik napas dalam, mengempaskan.
***
Aku terperangah. Tiba-tiba aku sudah tidak lagi duduk di serambi rumah. Tiba-tiba aku sudah duduk di akar-akar menonjol dan bersandar punggung di pohon flamboyan di halaman SMP tempat aku dulu sekolah. Pakaianku juga berganti. Kini aku mengenakan seragam SMP. Kemeja putih, celana pendek biru. Di sampingku tas sekolahku dulu, yang sekarang sudah entah ke mana, mungkin sudah tertimbun tanah. Di tanganku terbuka buku pelajaran Matematika.
Aku melihat jam di pergelangan tangan kiri. Saat itu, aku telah benar-benar tiba dengan selamat di masa lalu yang segera menguasaiku. Masa lalu kembali menjadi masa kini.
Kepalaku tergeleng setelah meneliti jam.
"Sudah lewat hampir 10 menit, kelas Lestari belum juga bubar," gumamku. Aku memang menunggu Lestari untuk pulang sama-sama. Kami memang selalu pulang bersamaan, tentu saja sejak kami berpacaran. Siapa kelasnya pulang lebih dulu, ia menunggu di bawah flamboyan ini. Selalu di sini.
Kelas Lestari pun bubar.
"Lama, ya nunggunya?" kata Lestari tersenyum. Setengah berlari ia menujuku.
"Ah, enggak," sahutku, memberesi buku. Batinku, sampai sore juga, kamu akan tetap kutunggu di sini, Les! "Ngapain aja sih di kelas kok lama?"
"Biasa Pak Hadi. Mana ada yang berani macam-macam kalau pelajaran Pak Hadi? Baru dipelototi saja semua sudah pucat keluar keringat dingin?"
"Sudah begitu, Pak Hadi itu tahan lapar sih, ya?"
"Benar. Ha…ha…ha…"
Lestari tertawa. Aku pun tertawa. Tawa reda. Lestari menengadah. Ia menatap bunga-bunga flamboyan. Aku menatapnya. Menatap bunga-bunga flamboyan. Lalu kami bertatapan.
"Kamu mau kupetikkan bunga flamboyan, Les?" Aku menawarkan diri.
Lestari senyum. "Tapi pohonnya banyak semut, Is. Lihatlah."
"Semut. Apa artinya?" Aku membuka sepatu.
"Bukan semut hitam, Is! Tapi semut rangrang!"
"Aku sudah tahu kok, Les?" Aku berdiri, siap memanjat.
"Tak usahlah, Is. Semut rangrang itu jahat-jahat!"
"Ya. Seperti serigala. Tapi tak apa-apa."
"Tak apa-apa bagaimana. Semutnya banyak sekali, Is!"
"Sudahlah. Diam saja kamu!"
"Kamu memang nggak bisa dibilangin, Is! Kalau begitu, hati-hati!"
Aku memanjat. Sampai di cabang pohon, semut rangrang menyerbu! Beberapa sudah menggigit kulitku sampai ia tertungging. Semut-semut lain dari jauh berlari ke arahku. Sepertinya aku magnet yang menarik mereka. Bunga-bunga masih jauh, aku sudah sibuk dengan semut.
"Tuh, kan? Turun sajalah!"
"Tanggung!" teriakku. "Dasar semut! Tak bisa membedakan mana gula mana manusia! Apa saja yang dilihat dikira semuanya gula! Dikira semua ada gulanya! Api juga pasti dikira menyimpan gula!"
Lestari tertawa. Aku bergerak cepat, sebab semakin banyak semut menyerbu. Bunga terdekat kutuju. Teraih, kupatahkan, kujatuhkan. Kuraih yang lain. Kupatahkan, kujatuhkan. Tiga tangkai kudapat. "Cukup, Is," teriak Lestari. Dan aku merasa sekujur tubuh ditusuki jarum. Cepat-cepat aku turun. Pada jarak yang tak lagi membahayakan, aku anjlok. Terjengkang. Bangkit. Sibuk membersihkan semut. Lestari membantu. Ia bersihkan semut di punggungku.
"Hei, kamu membersihkan semut, apa memukuli aku!" teriakku.
"Wiiih, banyak sekali, Is, semut mengeroyokmu!"
Semut habis. Tak ada gigitan semut lagi. Bekas gigitan semut masih pedih. Tapi tak kurasakan. Bahkan rasa itu hilang ketika aku melihat bunga-bunga flamboyan di tangan Lestari. Perasaanku jadi senang. Bahagia. Apalagi kemudian aku mendengar bibir Lestari mengucapkan terima kasih. Apalagi kemudian di depanku kekasihku mencium bunga itu. Kami tersenyum. Barulah melangkah pulang. Meninggalkan sekolah yang telah lengang.
Kami memang sama-sama menyukai flamboyan. Bahkan kami berpacaran juga karena kesamaan itu. Ingat flamboyan, selalu aku ingat Lestari. Demikian sebaliknya.
"Is?"
"Ya?"
"Kalau nanti menikah. Aku mau mas kawin setangkai flamboyan. Maukah kamu, Is?"
"Tentu saja.”
"Aku mau kita dihiasi flamboyan! Di mana-mana flamboyan. Di kampung kita ini kan banyak sekali pohon flamboyan? Apakah kamu setuju, Is?"
"Setuju sekali. Tapi, kok kita jadi sudah ngomongin mau menikah sih?"
"Iya, ya? Gila! Padahal kita kan sekolah aja baru SMP. Dan pula…"
Kalimat Lestari terputus.
"Dan pula…, apa, Les?" tanyaku, penasaran.
"Kita tidak tahu apakah kita jodoh, Is. Jodoh, kan, di tangan Tuhan?"
Aku terdiam. Lestari juga berjalan dengan diam.
"Kita berdoa Les. Kita mohon agar kita jodoh."
Lestari mengangguk. Lalu menyahut, "Tapi kalau nggak jodoh, kalau kita harus pisah, aku mau kita pisah baik-baik, Is. Jangan ada luka atau dendam di antara kita. Dan biarpun kita misalnya tak pacaran lagi, aku selalu ingat kamu. Seperti aku tak lupa dengan flamboyan ini, Is."
"Ya. Aku juga begitu, Les," desisku.
* * *
Tiba-tiba aku sudah kembali duduk di kursi di serambi rumah menatap flamboyan diam menunduk itu. Aku sudah tidak berseragam SMP dan Lestari tak ada di sampingku. Aku terkejut, kecewa, dan ingin rasanya tak usah kembali ke masa kini. Aku ingin bersama Lestari.
Aku merasakan kembali kehilanganku akan Lestari. Mataku berkaca-kaca. Aku sangat mencintai Lestari, demikian pula sebaliknya. Tapi tidak jodoh. Tuhan mengambil kekasihku ketika kami di SMA. Lestari menyerah oleh kanker yang menggerogotinya. Ia meninggal di rumah sakit. Ketika itu tangannya mendekap setangkai flamboyan merah dariku.
"Bagaimana perasaanmu, Mas?" tanya flamboyan itu.
Aku cuma menggeleng. Tak kuasa menjawab.
"Apa yang Mas rasakan. Seperti itulah perasaan saya, Mas?" flamboyan itu seperti menahan pedih. "Saya… saya banyak sekali kehilangan, Mas."
"Kamu kehilangan apa, kalau aku boleh tahu?" tanyaku.
Ia menyusut air mata. Lalu ia susah-payah mengeluarkan kata-kata yang membukakan mata kesadaranku akan kenyataan di kampungku ini. Dulu di kampung ini banyak sekali pohon flamboyan. Di mana-mana flamboyan, dan jika musim kembang, flamboyan-flamboyan itu menyemarakkan kampung dengan bunga-bunga merah menyala. Tapi, sekarang?
"Sekarang tinggal saya sendiri di kampung ini, Mas. Saudara, teman-teman, kekasih, semuanya sudah tiada. Saya sebatangkara. Itupun, saya dengar, sebentar lagi saya ditebang. Tempat saya ini akan didirikan tiang listrik, Mas!"
Aku terkejut. Ternganga. Terpatung. Sementara flamboyan merah itu menunduk, mengguguk, mengisak, menderaskan air mata.

Malang, Maret 2001